Rhizome Adakan Diskusi Ramadhan Bergejolak : Bersama Tak Harus Sama

Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia dirisihkan dengan isu intoleransi bangsa Indonesia. Padahal sebenarnya jika dicermati, masyarakat Indonesia  sudah hidup berdampingan dengan bebagai perbedaan sejak jaman dulu. Dalam rangka membangun kembali kebersamaan, pada Kamis (08/6) lalu, UKM Rhizome Fisip Unsoed mengadakan Diskusi Ramadhan Bergejolak dengan tema “Bersama Tak Harus Sama”. Ramadhan Bergejolak merupakan sebuah forum diskusi rutin yang kebetulan dilaksanakan di bulan Ramadhan. Sebagai pembicara hadir dari berbagai kalangan, antara lain Haryadi, Ph.D akademisi FISIP, Stefanus Roy Candra Pendeta GBI Purwokerto City Walk, Yopi Makdori, perwakilan dari Gema Pembebasan, dan Rizki Amalia perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Islam Komsat Fisip Unsoed. Acara disisi dengan bedah film dan diskusi.

Menurut Haryadi, masalah toleransi muncul karena adanya respon terhadap perubahan sosial. Menguatnya politik idiologi, menguatnya kesenjangan sosial ekonomi, menyebabkan adanya peningkatan gerakan intoleransi, akibatnya, hal-hal  tersebut di ekspresikan dalam nuansa keagamaan. Berkembangnya politik pasca kebenaran adalah sebuah prinsip yang lebih percaya pada media mainstream, yang menyebarkan berita tidak benar yang menyebabkan munculnya penyimpangan dalam tindakan masyarakat yang mendapatinya. Orang beranggapan bahwa tidak perlu lagi adanya tolerasi, serta merasa kalah sehingga perlu membalas pada hal yang lain. Masyarakat sangat tergantung pada media, padahal media hanyalah sebuah perantara. Media yang tadinya sebuah alat yang dibuntuk oleh masa itu sendiri berubah menjadi sekutu yang menyeramkan. “Harusnya media sendiri sudah berusaha menjaga dirinya sebagai instrumen penjaga kebenaran, namun banyaknya kepentingan-kepentingan yang ada mengubah media menjadi aliansi bisnis dan kepentingan politik,” tegasnya. Karena itulah orang dengan mudah menerima berita bohong, sehingga media seperti sudah menjadi indistri berita bohong. Soluinya adalah tidak menerima berita media secara mutlak atau mantah mentah, kita harus mencari kebenaran dari berita itu.  Sikap yang negatif adalah sadar diri akan perbedaan dengan orang lain namun berusaha untuk menghilangkan perbedaan itu, bukan malah mentoleransinya atau disebut dengan sikap rasis. Padahal jika kita pahami masyarakat indonesia dulunya sangat beragam namun tetap pada toleransi, seperti kata gusdur” yang sama tidak perlu dibeda bedakan, dan yang beda tidak perlu disama samakan”

Dari perspektif kristiani, Roy Candra mengungkapkan, “Film tersebut, sisi yang sangat baik adalah seperti kata  Jokowi “keberagaman di indonesia adalah takdir ilahi”, bahwa itu adalah rencana Tuhan, karena saat saya lahir, saya tidak bisa memilih dengan siapa saya akan di lahirkan’. Maka dari itu, beliau menegaskan, kita tidak perlu menonjolkan perbedaan yang ada, dengan cara tidak memperdebatkan perbedaan yang ada, karna hal itu tidak ada habisnya. Bangsa lain sudah mulai maju dengan pemikiranya, sedang kita malah mempermasalahkan perbedaan- siapa yang paling benar. Tidak ada agama manapun yang mengajarkan kebencian, semua agama mengajarkan perdamaian, untuk saling menghargai. Tuhan juga mengatakan “jika ada orang yang berbeda dengan agamamu, maka jangan kamu tindas dia”. Dengan alasan itu, maka tidak ada alasan untuk memperuncing perbedaan, karena ada orang orang yang memanfaatkan hal ini untuk kepentinganya, memenuhi kebutuhan dalam hal ekonomi. Beliau berharap, mari kita tonjolkan apa yang sama pada diri kita, bahwa kita sama-sama orang indonesia, kita sama-sama  suku bangsa, maka jangankah kita bertikai. Konfik yang terjadi akan terminimalisir apabila ada komunikasi yang baik. Berkomunikasi antara satu dengan yang lain untuk saling mengenal.

Pada beberapa media biasanya membuat kita langsung emosi, nah, padahal ini harusnya bisa menjadi tema dalam sebuah komunikasi dengan pihak yang bersangkutan. Di Kabupaten Banyumas, yang baik adalah kita minoritas ini aman-aman saja, kadang konflik yang terjadi hanya ada pada titik-titik tertentu. Para pemuka agama di Banyumas punya waktu tersendiri untuk berkumpul untuk saling membantu. “Di daerah saya, pada saat hari raya idul fitri semua berkumpul untuk bersalam salaman. kadang hal inilah yang saya rindukan, karena itu menunjukan rasa hormat saya pada sesama umat beragama”, urainya.
         

Dari perspektif mahasiswa yang disampaikan oleh Yopi dan Rizki, mereka cenderung mirip bahkan sama dalam berpendapat. “Bahwa  toleransi akan ada jika adanya interaksi antar  agama. “Apa yang kita lakukan saat kita berinteraksi, yatitu mendiskusikan banyak hal kecuali tentang agama. karena dengan berinteraksi kita akan saling mengetahui satu sama lain,” urainya. Denga kata lain, kita jangan mempelajari toleransi secara konsep saja, namun juga bagaimana kita bisa mempraktekannya dalam kehidupan sehari hari. Harusnya setiap organisasi  mempunyai sikap toleransi. Sebenarnya toleransi itu bergantung pada manusianya. Ada mahasiswa yang toleran ada yang tidak, misalnya pada sikap mahasiswa terhadap prinsip poligami, padahal itu adalah konsep dari sebuah agama. Diskusi berjalar lancar meski sempat terjadi sedikit keributan karena perbedaan pendapat, namun hal tersebut dapat dikendalikan. Diskusi dilanjut dengan berbuka puasa bersama dengan pembedah dan peserta diskusi. Diskusi yang turut dihadiri oleh Wakil Dekan III, Ahmad Sabiq, S. IP., MA pun diakhir dengan closing statement oleh masing-masing pembedah.

Maju terus FISIP Unsoed…Pantang menyerah!!