Raihan Maulana, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, baru saja mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional di Narathiwat, Thailand, di mana pada 8 Agustus 2025 ia menerima penghargaan Insan Pengabdi Pendidikan dari Kepala Dinas Pendidikan Kerajaan Thailand Provinsi Narathiwat, Mr. Pinya Rattanaworachart. Penghargaan ini diberikan atas dedikasinya selama satu bulan menjadi relawan pengajar di Darul Hikmah School, sebuah sekolah swasta berbasis Ma’had Islam yang berada di provinsi perbatasan dengan karakteristik sosial-budaya yang unik, namun menghadapi tantangan seperti rendahnya tingkat pendidikan dan motivasi belajar generasi muda.

Selama satu bulan pengabdiannya, Raihan tidak hanya mengajar di sekolah, tetapi juga aktif mengunjungi berbagai kantor instansi pemerintahan, seperti kantor urusan imigrasi, kejaksaan, pengadilan, dan kantor kota atau distrik. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut, ia berdiskusi maupun sekadar melakukan observasi untuk mengidentifikasi potensi-potensi yang dapat ditingkatkan dan dioptimalkan, sekaligus memahami tantangan yang dihadapi masyarakat setempat. Dari pengamatannya, ia melihat bahwa meskipun sudah banyak institusi pendidikan formal—baik sekolah swasta maupun sekolah kerajaan—dengan jumlah siswa yang cukup, motivasi untuk belajar, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan relevansi pendidikan dengan tantangan sosial di masyarakat masih belum optimal atau bahkan relatif rendah.
Dalam aktivitas mengajarnya, Raihan tidak hanya berfokus pada bahasa Inggris sebagai kebutuhan dasar, tetapi juga menyelaraskannya dengan mata pelajaran lain secara kontekstual dan berbasis praktik. Ia memperkenalkan model pembelajaran berbasis simulasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (Model United Nations), di mana siswa dapat berperan sebagai delegasi negara yang membahas isu-isu global. Mereka juga dikenalkan pada konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dikontekstualisasikan dengan permasalahan di wilayah mereka, sehingga mendorong mereka untuk berani bersuara, berpikir kritis, dan menyampaikan pengalaman hidup mereka. Topik-topik seperti pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, ketahanan pangan, dan isu air menjadi sarana bagi mereka untuk membayangkan masa depan yang melampaui batas permasalahan lokal. Selain itu, mereka mendapatkan pelajaran bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Melayu, dan mata pelajaran non-kurikulum nasional lain yang relevan dengan kehidupan sehari-hari—termasuk toleransi dan hidup berdampingan di tengah masyarakat dengan dua identitas budaya besar. Semua ini bertujuan memberi mereka pemahaman, strategi untuk meraih masa depan, serta semangat kasih sayang dan perdamaian.

Salah satu sorotan utama dari program ini adalah momen penyerahan penghargaan di kantor pendidikan provinsi, yang dihadiri oleh pejabat pendidikan, para Bupati, dan Walikota se-Provinsi Narathiwat. Raihan diminta untuk menyampaikan pidato dan menyerahkan esai berbahasa Thailand yang membahas bagaimana konsep tiga pilar pendidikan dan prinsip Ki Hajar Dewantara dapat dikontekstualisasikan dengan potensi dan tantangan pendidikan di Thailand. Dalam penyampaiannya, ia menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi jembatan bagi cita-cita, minat, bakat, dan masa depan siswa, serta mampu berperan dalam mengatasi persoalan mendasar seperti kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan, menurutnya, adalah hak setiap manusia tanpa memandang status sosial, kemampuan ekonomi, agama, suku, ras, atau kebangsaan.
Ia menegaskan bahwa sepanjang perjalanan ini, orientasinya sama sekali bukan untuk mendapatkan pengakuan dari pihak manapun. Satu-satunya niatnya adalah memberikan sesuatu, sekecil apapun, kepada masyarakat di manapun berada—tanpa memandang apakah mereka berasal dari negaranya sendiri atau bukan. Baginya, pendidikan adalah salah satu bentuk diplomasi yang paling kuat, mampu mengentaskan berbagai persoalan dan memberikan kebermanfaatan nyata bagi masyarakat. Pendidikan sekali lagi adalah hak setiap warga dunia tanpa terkecuali, dan tidak boleh ada lagi orang yang tidak terpelajar. Setiap orang bisa menjadi guru, setiap tempat bisa menjadi sekolah—baik itu rumah, sekolah formal, maupun masyarakat—dan guru bisa hadir dalam wujud orang tua, tokoh masyarakat, atau tetangga. Pengalaman satu bulan ini memperkuat keyakinannya bahwa ia adalah bagian dari mereka yang menganggap pendidikan sebagai hal yang terpenting, didasarkan pada kesadaran bahwa ia adalah anak pertama di keluarganya yang mampu mengenyam pendidikan tinggi, menjadi harapan bagi orang tua dan bahkan masyarakat desanya untuk menjadi pribadi yang sukses namun tetap membawa manfaat bagi lingkungannya. Pernah merasakan sendiri ketiadaan, ketidakpunyaan, dan berbagai tantangan hidup yang sama persis seperti anak-anak yang ia ajar, ia yakin bahwa jika dirinya bisa, maka mereka pun pasti bisa.