Empat Akademisi FISIP Unsoed Dikukuhkan Sebagai Guru Besar, Angkat Isu Strategis dalam Orasi Ilmiah

Purwokerto, 4 Februari 2025 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) kembali mencatat pencapaian akademik dengan dikukuhkannya empat dosennya sebagai Guru Besar dalam sebuah prosesi yang berlangsung di Graha Widyatama Prof. Rubiyanto Misman. Keempat akademisi tersebut adalah Prof. Dr. Bambang Tri Harsanto, M.Si. (Ilmu Manajemen Pembangunan Wilayah), Prof. Dr. Muslih Faozanudin, M.Sc. (Ilmu Manajemen Pelayanan Publik), Prof. Dr. Mite Setiansah, S.IP., M.Si. (Ilmu Media dan Komunikasi), serta Prof. Dr. Wahyuningrat, M.Si. (Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik). Dalam orasi ilmiah mereka, keempat profesor ini menyoroti berbagai tantangan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dalam konteks kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, digitalisasi, dan keseimbangan kerja-kehidupan.

Dalam orasi ilmiah pertamanya, Prof. Dr. Bambang Tri Harsanto, M.Si. menyampaikan pemikirannya dalam pidato berjudul “Strategi Kerjasama Antar Daerah yang Berkelanjutan untuk Meningkatkan Keberhasilan Otonomi Daerah di Indonesia”. Beliau menekankan bahwa keberhasilan otonomi daerah bergantung pada sinergi antardaerah dalam pengelolaan sumber daya dan pembangunan, yang selaras dengan SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan). Namun, berbagai tantangan seperti sentimen primordial, konflik kepentingan, dan kebijakan yang kurang terkoordinasi masih menjadi kendala. Untuk itu, beliau merekomendasikan penguatan otonomi daerah di tingkat provinsi, insentif bagi daerah yang sukses menjalin kerja sama, serta dukungan regulasi dan pendanaan dari pemerintah pusat.

Selanjutnya, Prof. Dr. Muslih Faozanudin, M.Sc. membawakan orasi berjudul “Membangun Pelayanan Publik yang Inklusif dan Bermanfaat di Era Digital”. Beliau menyoroti transformasi pelayanan publik berbasis digital yang telah mempercepat akses layanan bagi masyarakat, namun masih menghadapi kendala dalam kesenjangan literasi digital dan infrastruktur teknologi. Hal ini berkaitan erat dengan SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur) serta SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat). Prof. Muslih menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus menjalin kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat sipil untuk memastikan layanan digital inklusif dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Sementara itu, Prof. Dr. Mite Setiansah, S.IP., M.Si. dalam orasinya yang berjudul “Ilusi Komunikasi dalam Perspektif Helical Model: Dinamika Interaksi Manusia dan Tantangan Literasi Digital” mengungkapkan bahwa masalah utama komunikasi saat ini bukanlah kurangnya komunikasi, melainkan ilusi bahwa komunikasi telah terjadi secara efektif. Menurutnya, model komunikasi berbasis Helical Model menekankan bahwa komunikasi bersifat berkelanjutan dan adaptif, sehingga menuntut individu untuk memahami bagaimana pesan diterima dan diproses. Isu misinformasi dan disinformasi yang marak di era digital menjadi tantangan besar, khususnya dalam konteks SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan). Oleh karena itu, beliau memperkenalkan Model Mite Helical yang menekankan empat aspek utama dalam komunikasi: message (pesan), interaction (interaksi), transaction (transaksi komunikasi), dan evaluation (evaluasi efektivitas komunikasi).

Orasi ilmiah terakhir disampaikan oleh Prof. Dr. Wahyuningrat, M.Si. dengan judul “Transformasi Keseimbangan Kerja dan Kehidupan: Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Manusia Sektor Publik”. Beliau menyoroti bahwa perubahan pola kerja akibat digitalisasi dan dampak pandemi COVID-19 telah mengubah keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam konteks SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), beliau menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung work-life balance, termasuk penguatan kebijakan fleksibilitas kerja, digitalisasi yang mendukung efisiensi, serta perubahan budaya kerja yang lebih adaptif terhadap kesejahteraan karyawan.

Keempat akademisi ini menyoroti isu-isu yang sangat relevan dengan tantangan zaman dan kebutuhan reformasi kebijakan di Indonesia. Otonomi daerah yang lebih kolaboratif, transformasi pelayanan publik berbasis digital, literasi komunikasi di era informasi, serta keseimbangan kerja dan kehidupan menjadi isu strategis yang tidak hanya berpengaruh bagi kebijakan nasional tetapi juga bagi keberlanjutan sosial dan ekonomi di tingkat global.

Dekan FISIP Unsoed, Prof. Dr. Wahyuningrat, M.Si., menyampaikan apresiasinya atas pencapaian ini dan menekankan bahwa peningkatan jumlah Guru Besar di FISIP adalah bagian dari komitmen fakultas dalam meningkatkan mutu akademik dan kontribusi terhadap kebijakan publik berbasis riset. “Pencapaian ini menjadi dorongan bagi seluruh akademisi untuk terus berinovasi dan menghadirkan solusi berbasis penelitian bagi tantangan sosial dan pembangunan,” ungkapnya.

Dengan bertambahnya jumlah Guru Besar, FISIP Unsoed semakin memperkuat perannya sebagai pusat kajian kebijakan publik yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan inovasi sosial. Diharapkan, gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh para akademisi ini dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan dan masyarakat luas dalam menghadapi tantangan global di era modern.

deneme bonusu veren sitelerdeneme bonusubonus veren sitelerdeneme bonus siteleriporn