Roadshow Buku & Diskusi Publik “Refleksi 18 Tahun Aksi Kamisan: Konsistensi Menagih Kebenaran dan Keadilan”

Laboratorium Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman bekerja sama dengan Aksi Kamisan menyelenggarakan Roadshow Buku dan Diskusi Publik bertajuk “Refleksi 18 Tahun Aksi Kamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Ini Tetap Berdiri” pada 29 September 2025. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Suciwati (pegiat Aksi Kamisan dan istri almarhum Munir Said Thalib), Dra. Tri Rini Widyastuti, M.Si. (pengajar FISIP Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M., Ph.D. (pengajar Hukum Unsoed), Vebrina Monica (KontraS), serta Arif R. Hartono (Dompet Dhuafa).

Aksi Kamisan telah hadir sejak 18 Januari 2007 sebagai bentuk perlawanan damai menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Berawal dari depan Istana Negara, aksi ini terinspirasi dari gerakan perempuan di Kuba dan kini telah menyebar ke berbagai kota di Indonesia, bahkan hingga luar negeri. Selama 18 tahun, Aksi Kamisan menjadi katalisator penting dalam pengarusutamaan isu HAM dan mengingatkan publik bahwa negara masih memiliki hutang besar terhadap korban dan keluarga.

Dalam paparannya, Suciwati menegaskan bahwa hingga kini belum ada keberanian untuk menunjuk secara jelas siapa pelaku pelanggaran HAM di Indonesia. Ia mengingatkan kasus pembunuhan Munir yang melibatkan institusi negara, di mana hasil investigasi Tim Pencari Fakta tidak pernah dipublikasikan. “Ada hak yang selalu melekat pada korban, yaitu kebenaran, keadilan, restitusi, rehabilitasi, dan perlindungan,” ujar Suciwati. Ia juga menyampaikan kekecewaannya karena tidak ada aturan yang melarang terduga pelaku pelanggaran HAM menduduki jabatan pemerintahan.

Tri Rini Widyastuti membedah Aksi Kamisan melalui konsep Memoria Passionis, yakni ingatan kolektif akan penderitaan korban ketidakadilan yang terus dijaga agar tidak terhapus. Menurutnya, aksi ini adalah bentuk politik ingatan untuk menolak lupa, menolak impunitas, dan menjaga kesadaran publik agar pelanggaran serupa tidak terulang.

Sementara itu, Manunggal Kusuma Wardaya menyoroti lemahnya hukum dalam menangani pelanggaran HAM di Indonesia. Menurutnya, negara justru sering menjadi aktor utama dalam kasus HAM. Ia juga menyinggung persoalan independensi Komnas HAM yang kini banyak diisi oleh jaksa yang masih terikat dengan pemerintah, sehingga sulit benar-benar berpihak pada korban.

Dari sisi gerakan masyarakat sipil, Vebrina Monica dari KontraS menyebutkan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah kepemimpinan negara oleh figur yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Ia menekankan bahwa Aksi Kamisan masih kerap dihadapkan dengan tindakan represif aparat, sementara TNI kini mulai memasuki ruang-ruang sipil. “Kita harus terus menghidupkan Aksi Kamisan dengan cara-cara ala anak Gen Z, supaya semakin banyak yang sadar bahwa negara ini masih banyak cacatnya,” tegasnya.

Diskusi ini juga menyinggung sisi akademik dari Aksi Kamisan. Dari perspektif teori gerakan sosial, Aksi Kamisan dianggap sebagai gerakan dengan biaya rendah (low-cost) namun memiliki mobilisasi moral yang tinggi. Simbol baju hitam, payung hitam, dan sikap diam menciptakan pesan visual yang kuat dan menyentuh kesadaran moral publik.

Selain itu, dari perspektif teori framing, Aksi Kamisan berhasil membangun narasi “melawan impunitas dan menolak lupa” yang konsisten selama hampir dua dekade. Narasi ini menyatukan identitas kolektif, menggerakkan emosi, sekaligus membangun daya tahan gerakan di tengah represi.

Diskusi publik ini menegaskan bahwa meskipun Aksi Kamisan belum berhasil membawa perubahan substantif dalam penegakan hukum, aksi ini tetap penting sebagai ruang perlawanan damai, pengingat kolektif, serta inspirasi bagi kota-kota lain.

Melalui kegiatan ini, Laboratorium Sosiologi FISIP Unsoed berharap ruang akademik dapat terus menjadi mitra perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai HAM, merawat ingatan kolektif, dan mendorong negara agar benar-benar menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.