Seminar Nasional: Respon Negara Kawasan Atas Inisiatif “Belt and Road Initiative”

Jurusan Hubungan Internasional (HI) kembali mengadakan seminar nasional. Pada tanggal 8 Mei 2018, Jurusan HI mendapatkan kesempatan untuk berbagi ilmu dengan Pak Yudi Sutanto, Ph.D. Dalam seminar yang diinisiasi oleh Soedirman Center of Global Studies ini, sebagai tandem Pak Yudi Sutanto, hadir pula Dr. (Cand.) Arif Darmawan sebagai pembicara, staf pengajar Jurusan HI yang tengah menyelesaikan disertasi di Universitas Padjajaran. Dalam sambutannya, Agus Haryanto, Ph.D selaku Kepala Soedirman Center Global Studies menyampaikan bahwa seminar nasional ini merupakan satu bagian dari keinginan Jurusan HI untuk menyelenggarakan kegiatan sebanyak-banyaknya demi menambah pengetahuan pengajar dan mahasiswa Jurusan HI.    Pembicara pertama seminar ini, Dr. (Cand.) Arif Darmawan, lebih menguraikan mengenaik proyek Tiongkok yang dinamakan Belt and Road Initiatives (BRI). Beliau menyatakan bahwa selama ini Tiongkok cenderung main aman dalam hubungan internasional. Seolah-olah Tiongkok tidak punya ambisi. Bersamaan dengan itu, Tiongkok merupakan negara yang kuat secara ekonomi, industrinya mulai maju, dan kapabilitas militernya terus meningkat meningkat. Meski demikian, Tiongkok berusaha lebih humble daripada, misalnya, AS yang menganggap diri sebagai hegemon. Tiongkok ingin menghidupkan kejayaan peradabaan Jalur Sutra di masa lalu melalui.   Pembicara kedua menguraikan mengenai bagaimana sebaiknya respon Indonesia atas BRI dari Tiongkok. Pak Yudi Sutanto, Ph.D menyampaikan bahwa kerja sama antara Poros Maritim Dunia dari Indonesia dan BRI dari Tiongkok sangat memungkinkan. Pada tahun 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengunjungi Indonesia dan memberitahukan mengenai One Belt, One Road (yang kemudian BRI menjadi nama resmi proyek tersebut). Pak Yudi mengaku terkejut ketika Presiden RI Joko Widodo melontarkan ide Poros Maritim di pertemuan APEC tahun 2014. Menurut beliau, kalau dua gagasan ini bisa saling bertemu, maka akan berguna untuk Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia bisa diselesaikan dengan kerja sama dengan Tiongkok. Pada tahun 2016, pendapatan negara 900 miliar dolar atau urutan ke-16 dunia, tapi GDP hanya 3000-an rupiah. Selain itu, distribusi ekonomi tidak merata. Jalur kereta api di Indonesia juga hanya peninggalan zaman kolonial Belanda dan kebanyakan rel tunggal. Rata-rata jarak pelabuhan cuma 450 km baru ada satu pelabuhan, padahal di Jepang tiap 11 km.    Pak Yudi menyampaikan perhitungan bahwa sejak tahun 2016, dalam waktu 3 tahun tersisa, Presiden RI Joko Widodo butuh 100 miliar dollar untuk membangun infrastruktur dan peralatan laut. Padahal cadangan devisa Indonesia yang berjumlah sekitar 120 miliar hanya boleh diambil sepertiganya saja. Dengan demikian, Presiden Jokowi jelas membutuhkan investor. Di sini lah kemudian kita melihat Tiongkok. Tiongkok merupakan negara yang memiliki ekonomi terkuat ke-2 di dunia, sehingga berpotensi menjadi sumber bantuan yang bagus. Prospek-prospek yang bisa masuk dalam invetasi cukup banyak, seperti kerja sama kelautan, kawasan industri, sumber daya dan energi, pertanian, dan lain sebagainya; pembangunan jalan raya, rencana 4000 km dalam 5 tahun; serta pembangunan jalan kereta api dan lain sebagainya.   Semoga dengan terselenggaranya acara ini Jurusan HI semakin meningkat secara kualitas. HI hebat!