Lintang Ayu Saputri, Anggota Rhizome FISIP Ikuti Lasem Pluralism Trail

Lasem, adalah sebuah kota kecil salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang. Namun dari kota kecil ini bisa dipelajari kebersamaan dalam perbedaan atau persatuan dalam kebhinekaan. Itulah sekelumit oleh-oleh yang diperoleh Lintang Ayu Saputri anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Rhizome FISIP Unsoed pada Lasem Pluralism Trail.

Pada tanggal 12 – 15 Oktober lalu, Ein Institute, sebuah LSM yang mempunyai tujuan untuk membumikan pluralisme membuka beasiswa kepada anak-anak muda untuk mengikuti Lasem Pluralism Trail. Seperti yang kita tahu bahwa akhir-akhir ini isu pluralisme dan toleransi sedang banyak dipertanyakan oleh masyarakat. Salah satu anggota UKM Riset dan Kajian Ilmiah “Rhizome”, Lintang Ayu Saputri mencoba mengikuti beasiswa Lasem Pluralism Trail ini. Dari 146 pendaftar beasiswa ternyata mahasiswi Jurusan Administrasi Negara tahun 2015 terpilih dalam 10 orang pemenang beasiswa Lasem Pluralism Trail bersama dengan mahasiswa magister ilmu Komunikasi Angakatan 2017 (Maria Novianti).

Di lingkungan UKM Riset dan Kajian Ilmiah “Rhizome” tentu tidak asing lagi dengan diskusi-diskusi mengenai pluralisme dan toleransi. Beberapa kali Rhizome mengadakan diskusi mengenai topik itu dengan pembicara yang luar biasa. Namun berbeda dengan diskusi atau kuliah biasanya, di Lasem Pluralism Trail ini diskusi benar-benar dilakukan di gabungkan dengan etnis, agama, latar belakang yang berbeda. Di Lasem banyak terdapat Etnis Tionghoa, namun nilai-nilai keagamaanya juga kuat. Terbukti dari banyaknya tempat-tempat peribadatan dan pondok pesantren. Uniknya, tempat peribadatan telah ditempatkan sedemikian rupa sejak dulu dengan berdampingan dan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Misalnya ada pesantren yang berada di tengah-tengah kampung pecinan yang mayoritas non Islam. Atau klentheng yang berada ditengah-tengah pesantren. Gereja-gereja juga berdampingan dengan tempat ibadah lainnya.

Etnis Tionghoa yang memiliki ciri fisik berbeda dengan masyarakat setempat yang kebanyakan Jawa, namun mereka dapat saling terbuka dan bersosialisasi seperti biasa serta bisa berbahasa jawa ngoko seperti kebanyakan masyarakat Lasem. Mereka lebih senang dianggap sebagai orang Indonesia daripada orang Cina. Sejak dulu Lasem memang tidak membeda-bedakan antar etnis atau agama. Etnis Tionghoa di lasem juga banyak mengembangkan batik Lasem, sehingga batik lasem termasuk The Big Five Batik di Indonesia selain Batik Yogya, Solo, Banyumas, dan Pekalongan. Dari batik itulah mereka menciptakan motif akulturasi budaya antara batik Lasem dan kebudayaan Konfusianis Tionghoa dengan menuliskan pepatah bijak Tionghoa.

Yang paling menarik dari Lasem Pluralism Trail adalah kebersamaan dengan teman-teman yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Diharapkan setelah pulang dari Lasem Pluralism Trail para peserta mempunyai misi bersama untuk terus menyebarkan pesan-pesan perdamaian tentang betapa bahagianya hidup dalam keberagaman. Kebiasaan saling tolong menolong dan menghormati antar sesama manusia menjadi kebudayaan yang selalu dilestarikan.

Dari kegiatan ini peserta bisa belajar dari dasar penyebab konflik antar kelompok yang berbeda, alas an-alasan ras atau etnis dianggap berbeda, sampai pada  cara-cara yang bisa dilakukan dalam advokasi konflik. Selain itu peserta juga bisa belajar mengenai sejarah Lasem sehingga dapat menciptakan suasana pluralisme yang sangat menarik.

Maju Terus FISIP Unsoed…Pantang Menyerah…!!!