Langkah Bijak Melarangt LKS dan LES

Mendikbud Muhadjir Effendy memunculkan wacana pelarangan penggunaan LKS (lembar kerja siswa) dan aktivitas les yang dilakukan banyak guru. Secara pribadi saya menyetujui wacana tersebut, dan mengharapkan agar wacana tersebut segera dijadikan sebagai Permendikbud. Dasar pelarangan tersebut adalah agar guru dapat menuntaskan semua materi di kelas, sehingga siswa tidak memerlukan les di luar jam sekolah. Namun dalam tulisan ini, saya mencoba menyoroti beberapa hal terkait pelarangan tersebut.

Kreativitas
Saya akan menyoroti penggunaan LKS yang telah dilakukan hampir semua guru di sekolah. Secara fisik, LKS berisikan ringkasan materi pelajaran yang dikutip dari banyak buku pelajaran pokok. Setelah memaparkan ringkasan materi pokok, penulis LKS akan memberikan banyak soal berkaitan dengan materi yang dibahas. Inilah yang membedakan LKS dengan buku pelajaran. Dalam LKS, soal lebih banyak daripada pemaparan materi, sedangkan buku pelajaran lebih banyak memaparkan materi daripada soal.

LKS menjadi “primadona” sebagian besar guru. Secara gamblang, dengan menggunakan LKS, guru tidak perlu bersusah payah merencanakan dan menyusun tugas untuk siswa. Mereka cukup meminta siswa mengerjakan soal-soal dalam LKS.

Dari sisi siswa, tugas monoton dalam LKS cenderung tidak dapat mengembangkan kreativitas siswa. Pasalnya, soal-soal atau tugas dalam LKS masih berkutat pada soal pilihan ganda dan uraian singkat. LKS sedikit mengeksplorasi siswa untuk berpikir kreatif yang mampu mengembangkan ranah kognitif, afektif, serta psikomotorik secara berkesinambungan.

Selain praktis, ada beberapa hal yang mendorong guru menggunakan LKS. Pertama, guru belum memiliki kemampuan maksimal dalam menulis. Keterbatasan ini berkaitan dengan problem kompetensi pedagogik guru.

Kedua, di banyak daerah, guru masih kesulitan mengakses sumber referensi atau literatur yang diperlukan untuk menyusun bahan ajar pengganti LKS. Selain itu, banyak guru belum dapat mengoperasikan komputer. Padahal, kompetensi ini mutlak diperlukan seorang guru agar mereka dapat menyusun bahan ajar sendiri.

Ketiga, guru tidak memiliki waktu luang karena mereka memiliki banyak tugas administratif yang harus dikerjakan dalam periode waktu tertentu. Tugas adminstratif yang “berlebihan” ini tentu akan mengurangi waktu efektif guru untuk menyusun sebuah bahan ajar mandiri. Selain itu, beban tugas mengajar sebanyak 24 jam pelajaran/minggu juga menguras waktu dan energi guru.

Tidaklah bijak ketika Kemendikbud berargumen bahwa “menulis bahan ajar dapat dilakukan di rumah”. Bagaimana pun juga guru dan PNS memiliki jam kerja terbatas, maka tidak sepatutnya mereka membawa pekerjaan sekolah ke rumah.

Kiranya, sebelum melarang guru menggunakan LKS, Kemendikbud harus mengubah beberapa kebijakan yang menyebabkan guru kehilangan banyak waktu. Selain itu, Kemendikbud harus memfasilitasi guru dalam proses tersebut.


Les, untuk apa ?
Les dapat dimaknai sebagai “pelajaran tambahan di luar jam sekolah”. Definisi tersebut menyiratkan satu pertanyaan, “mengapa harus ada tambahan pelajaran di luar jam sekolah?” Les tidak menjadi masalah ketika pelajaran yang diambil tidak diberikan di sekolah. Misalnya, siswa mengambil les bahasa Perancis karena di sekolahnya tidak ada pelajaran bahasa Perancis (Martono, 2014).

Ada dua kata yang menjelaskan fenomena ini. Pertama, kebutuhan. Mengikuti les diposisikan sebagai kebutuhan karena materi pelajaran yang disampaikan di kelas sangat terbatas, dan kemungkinan siswa tidak paham dengan penjelasan guru. Akibatnya mereka membutuhkan tambahan jam belajar di luar sekolah. Pertanyaan untuk alasan ini adalah “mengapa guru tidak tuntas menyampaikan materi pelajaran, sehingga perlu menambah jam belajar di luar jam sekolah?” (Martono, 2014). Pertanyaan ini perlu dikaji secara mendalam oleh Kemendikbud.

Bila jam belajar di sekolah masih kurang atau tidak sebanding dengan jumlah materi pelajaran dalam kurikulum, maka solusinya adalah jam pelajaran harus ditambah, sehingga siswa tidak perlu mengikuti les dengan biaya mahal. Atau solusinya adalah mengurangi beban materi pelajaran di kelas dan memperbanyak kegiatan nonakademik di sekolah. Sementara, saya lebih sepakat pada solusi kedua ini agar siswa tetap memiliki waktu untuk bersosialisasi dan mengembangkan kreativitasnya di luar sekolah.
Kedua, tuntutan. Secara tidak sadar keberadaan UN yang menggunakan format soal pilihan ganda, memaksa siswa mengikuti les di luar jam sekolah. Pasalnya, siswa akan mendapatkan banyak trik untuk menjawab soal-soal UN dengan jitu dan benar dalam waktu singkat. Sementara, hal seperti ini tidak mungkin dipelajari di kelas.


Evaluasi
Sebelum melarang guru menggunakan LKS dan mengadakan les tambahan, ada baiknya jika Mendikbud melakukan studi secara komperehensif yang mampu menjelaskan “mengapa guru lebih senang menggunakan LKS serta enggan menyusun bahan ajar mandiri”. Hasil studi ini perlu dilakukan sebagai bahan program kerja yang tepat yang mampu memotivasi guru menyusun bahan ajar secara mandiri.

Kemudian, pelajaran tambahan masih diperlukan beberapa siswa yang mengalami “keterlambatan”. Untuk membantu mereka, guru harus memberikan bimbingan khusus bagi siswa yang tidak mampu mengikuti pelajaran “secara normal” atau tertinggal. Jangan sampai siswa yang terlambat terseok-seok karena dipaksa mengikuti ritme belajar siswa yang lebih cerdas.

Untuk keperluan ini, tentu saja Kemendikbud harus melakukan studi apakah rasio guru sudah sebanding dengan jumlah siswa? Apakah rasio tersebut ideal? Rasio yang tidak ideal tentu menjadi penghambat kualitas hubungan guru dan siswa sehingga guru tidak dapat melakukan penanganan pada siswa yang memerlukan bimbingan khusus.

Selain itu, beban materi yang sangat padat juga berpotensi mengurangi waktu guru memberikan bimbingan bagi siswa yang “tertinggal”. Untuk itu, pengurangan materi pelajaran merupakan solusi agar guru menjadi lebih kreatif dan tidak terpaku pada aktivitas di kelas.

Sosiologi FISIP, Maju Terus Pantang Menyerah !

Sumber : OPINI Dr. Nanang Martono di Suara Merdeka 29/10/2016.