Diskusi Film mengenai Penyintas Konflik di Aceh dan Timor Leste

Bagaimana korban konflik mendapatkan keadilan dan pemulihan serta bagaimana konflik dan kekerasan dapat dicegah agar tidak berulang merupakan pertanyaan yang ingin dijawab dalam Webinar “Pemutaran Film dan Diskusi Pengalaman Penyintas Konflik di Aceh dan Timor Leste” pada tanggal 27 April 2021. Kegiatan ini diselenggarakan Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) UNSOED bekerja sama dengan Asia Justice and Rights. Film yang menjadi bahan diskusi ini adalah dua film dokumenter animasi pendek berjudul “8.45” dan “Konta-Sai” diproduksi oleh Asia Justice and Rights (AJAR), sebuah NGO regional yang bekerja di bidang HAM dan keadilan transisi di Kawasan Asia-Pasifik, berkolaborasi dengan KontraS Aceh, and ACbit (Timor-Leste).

Diskusi ini menghadirkan Aghniadi, Communication Officer AJAR dan Nurul Azizah Zayzda, Dosen Hubungan Internasional UNSOED sebagai pembahas. Acara dibuka oleh MC Atalia Taju dan kata sambutan diberikan oleh Ketua Jurusan Hubungan Internasional Agus Haryanto. Agus menyampaikan pentingnya kegiatan diskusi ini mengingat generasi muda saat ini bisa jadi terputus dari pengetahuan dan pengalaman di masa lampau. Selain itu, karena jarangnya topik ini dibicarakan, sangat penting untuk mengetahui perkembangannya sejak perjanjian damai di Aceh maupun kemerdekaan di Timor Leste.

Kedua film yang diproduksi oleh AJAR ini menceritakan pengalaman penyintas dengan menggunakan sudut pandang penyintas sendiri. Moderator I Putu Arya Aditia Utama memandu jalannya diskusi dengan kedua pembahas. Dalam penuturannya, Aghniadi menceritakan bahwa penggunaan format dokumenter animasi mengantarkan pengalaman penyintas melalui interpretasi dari animasi. Nurul Azizah yang dimintai pendapatnya mengenai pelanggaran HAM dalam film menyampaikan interpretasinya bahwa korban saat melalui kekerasan dalam konflik merasa kecil, tak berarti di hadapan pelaku kekerasan, menunjukkan aspek pelanggaran hak asasi manusia, yakni direnggutnya harkat martabat mereka sebagai manusia. Ia lebih jauh menjelaskan pelanggaran HAM yang terjadi di dalam film menggunakan standar HAM internasional sebagai tolak ukur.

Dengan pertanyaan dari beberapa peserta, diskusi ini lebih jauh mengeksplorasi topik konflik dan perdamaian lebih luas lagi, seperti peran komunitas internasional, hambatan yang dihadapi pemerintah dalam mempertahankan perdamaian, serta bentuk-bentuk pemulihan yang bisa diberikan kepada korban. Aghniadi menjelaskan bahwa sejak periode Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, sudah banyak aktor internasional yang terlibat termasuk NGO internasional yang memantau pelanggaran HAM serta yang nantinya mendampingi korban pasca konflik. Untuk di Timor Leste misalnya terdapat UNAMET yang diterjunkan PBB dalam masa transisi pemerintahan di Timor Leste. Nurul Azizah menambahkan adanya mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang membantu pemantauan penegakan HAM di setiap negara. Untuk Timor Leste misalnya, terdapat temuan bahwa keadilan untuk kotban belum terpenuhi.

Mengenai hambatan dalam mencapai perdamaian, Aghniadi melihat yang paling penting adalah bagaimana negara menyadari bahwa Hak Asasi Manusia harus menjadi fondasi dari negara. Sementara itu Nurul Azizah menyoroti bagaimana pendekatan keamanan terhadap konflik yang selama ini digunakan ketimbang pendekatan perdamaian yang mengutamakan dialog dan mencari jalan tengah melampaui keinginan pihak berkonflik agar tidak jatuh korban. Penjelasan pembahas terkait dengan pemulihan para korban meliputi keadilan transisi, pencarian kebenaran, trauma healing, rehabilitasi fisik dan psikis, serta pemulihan hak-hak ekonomi dan sosial. Lebih jauh lagi, diperlukan elaborasi mengenai sudut pandang setiap pihak yang terlibat dalam konflik dan kekerasan akan dapat menghasilkan narasi bersama dimana tidak ada lagi sikap memusuhi yang menyebabkan masyarakat yang rawan menjadi korban. Pada akhirnya, kedua pembahas menekankan pentingnya konsistensi dalam meninjau konflik yang melibatkan pelanggaran HAM, juga bahwa pengungkapan kebenaran melalui kesaksian penyintas sangat penting dalam proses rekonsiliasi dan pemulihan korban. Dengan adanya kesaksian bersama para korban akan melahirkan harapan dan jalan untuk pemulihan,  serta pengetahuan untuk generasi berikutnya untuk mencegah agar konflik tidak berulang. (*)