Prodi S1 Komunikasi Bahas Identitas Banyumas dalam Media Sosial

Globalisasi tidak hanya berdampak pada masalah ekonomi tetapi juga pada aspek social dan budaya. Globalisasi yang ditandai dengan terbukanya akses dan mudahnya akses pada dunia luar melalui media, akan berpengaruh besar pada perkembangan budaya local. Atas dasar inilah maka program Studi S1 Komunikasi mengadakan seminar dan bedah buku yang bertema “Identitas Banyumas di Media Sosial” Senin (6/11) lalu di Aula FISIP Unsoed. Hadir sebagi pembicara Dr. Amirudin, MA., pakar Antropologi dari Universitas Diponegoro, Dr. Edi Santoso, penulis buku “Dopokan Banyumasan di Media Sosial” juga staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, Ir. Sunardi, MT., atau lebih dekenal dengan “Eyang Nardi” Budayawan Banyumas dan Retno Fitriyani Mbekayu Banyumas Tahun 2015.

Dalam sambutan pembukaannya Wakil dekan Bidang I Dr. Joko Santoso, M.Si., yang mewakili Dekan mengatakan, “Globalisasi budaya bisa menjadi ancaman namun sekaligus menjadi peluang bagi budaya local atau budaya Banyumas”. Untuk itu diharapkan dari forum ilmiah ini akan dapat ditemukan cara untuk mendapatkan peluang dalam globalisasi budaya untuk mempublisasikan budaya local atau kearifan local dengan memanfaatkan berbagai macam media yang ada.

Identitas budaya Banyumas menjadi sesuatu yang unik karena merupakan peralihan akibat termarginalisasi oleh budaya keraton jogja atau solo, atau istilahya cedak watu adoh ratu. Akibatnyanya orang banyumas minder menunjukkan identitasnya subagai orang banyumas. Dan anak2 generasi sekarang lebih banyak mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Adanya media social menjadi wahana baru untuk menjadikan budaya Banyumas menjadi kebanggaan identitas. Ada transformasi masyarakat Banyumas untuk menunjukkan identitasnya dari media offline ke media on line akibat termarginalisasinya budaya Banyumas.

Bahasa Banyumas sering disebut sebagai bahasa ngapak. Namun, istilah ini digugat oleh beberapa kalangan, termasuk para netizen Banyumas sendiri, karena, istilah ‘ngapak’ sebetulnya merupakan olok-olok terhadap orang Banyumas.   “Disebut olok-olok, karena istilah itu menyindir kebiasaan orang Banyumas yang medok ketika menyebut kata berakhiran huruf k, misalnya bapak, pitik, dan lainnya” kata Dr. Edi Santoso, salah seorang pembicara. Menurut hasil penelitiannya Edi menemukan gejala perlawanan identitas oleh warganet Banyumas. “Gugatan terhadap istilah ngapak itu hanya salah satu contoh, bagaimana Orang Banyumas di media sosial mencoba melakukan purifikasi identitas. Mereka lebih suka istilah bahasa Panginyongan, untuk menandai bahasa mereka yang memang berbeda dengan bahasa Jawa wetanan,” lanjut Pengajar Komunikasi Siber tersebut.

Pembicara lain Dr. Amirudin mengatakan, media sosial merupakan ranah baru bagi orang Banyumas untuk menunjukkan identitasnya. “Ini dipertegas oleh riset Mas Edi, bahwa sebagai ranah baru, dimungkinkan terjadinya transformasi. Jika di ranah offline, misalnya ada yang minder berbahasa Banyumas terutama saat di luar Banyumas, tidak demikian ketika berada di ranah online,” ujar mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini. Eyang Nardi, menyebut media sosial berpeluang sebagai sarana menjaga atau melestarikan nilai Banyumasan. “Itulah kenapa di Facebook saya selalu menggunakan bahasa Panginyongan, untuk membawa suasana Banyumasan,” kata sesepuh Banyumas yang aktif di media sosial ini. Sementara itu, Retno berpesan kepada generasi muda untuk bangga berbahasa Banyumas. “Termasuk mahasiswa dari luar Banyumas, saya harapakan bisa lebih mengenal budaya Banyumas. Media sosial bisa menjadi sarananya,”tegasnya

FISIP Unsoed…Maju terus pantang menyerah…!