Memahami Daya Saing Nelayan di Pesisir Jawa Bagian Selatan


Pada hari Senin tanggal 30 Oktober 2017, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman mengadakan Seminar Hasil penelitian bertajuk “Strategi Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Daya Saing Nelayan Tradisional di Wilayah Pesisir Pulau Jawa Bagian Selatan”. Penelitian tersebut merupakan penelitian dari tiga pembicara utama dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, yaitu Dr. Asep Kamaluddin, M.Si, Dr. Ni Putu Eka, M.Si, dan Dr. Kusumajanti, M.Si.

Acara ini merupakan kerja sama antara Soedirman Center of Global Studies (SCGS) HI UNSOED dan Program Studi Hubungan Internasional UPN Jakarta. Acara yang berlansung di Ruang Sidang FISIP UNSOED tersebut dibuka oleh Dekan FISIP Dr. Jarot Santoso, M.S., dengan moderator Ayusia Sabhita Kusuma, M.Soc.Sc dan penanggap Dr. Agus Haryanto, M.Si yang merupakan staf pengajar Jurusan HI UNSOED.

Pembicara pertama Dr. Asep Kamaluddin, M.Si menyampaikan penelitian ini dari sudut pandang ilmu hubungan internasional. Menurut Morgenthau (1954), kekuatan ekonomi laut berawal dari konteks pemikiran strategis yang mengarah pada kekuatan nasional mengenai pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam. Dr. Asep menyampaikan, pengukuran kekuatan nasional meliputi kontrol atas sumber daya, kontrol terhadap aktor, kontrol terhadap kejadian dan hasil. Contoh kontrol sumber daya adalah tidak boleh pakai puket harimau, sementara kontrol terhadap aktor adalah meningkatkan pemerintah dan non-negara (organisasi nelayan). Kontrol terhadap kejadian dan hasil menempatkan data-data yang terukur untuk melihat perkembangan yang terjadi. Menurut penelitian yang telah dilakukan, pantai-pantai di Gunung Kidul menghasilkan kekuatan ekonomi sebesar 69 miliar rupiah per tahun. Salah satu masalah yang ada adalah kepemilikan kapal. Sementara negara-negara lain memiliki kapal yang memproduksi langsung sarden atau kornet langsung di kapal sehingga begitu di pantai sudah ada pembeli yang menunggu, nelayan di pantai Gunung Kidul tidak mampu membeli kapal ratusan juta seperti itu.

Pembicara kedua Dr. Ni Putu Eka, M.Si menyampaikan penelitian melalui sudut pandang ekonomi-politik. Seperti pemaparan yang disampaikan Dr. Eka, nelayan tradisional di pesisir Jawa bagian selatan lebih banyak menggunakan perahu kendaraan 10 Gross Ton. Tempat pelelangan ikan di sana merupakan tempat bertemunya nelayan tradisional dan pembeli.

Masalah yang muncul adalah, nelayan tradisional di Malang Selatan tidak ada yang merupakan warga masyarakat dari Malang Selatan. Nelayan tradisional yang ada berasal dari Sidoarjo, Bugis, Banyuwangi, bahkan Jakarta. Di Malang Selatan sendiri, masyarakat lebih memilih kerja dalam pertanian. Hal ini mirip dengan situasi di Bali. Nelayan di Bali Utara berasal dari Pandeglang, karena masyarakat Bali memilih menjadi pengukir, melukis, dan sebagainya yang berkaitan dengan aktivitas kreatif.

Yang menjadi bahaya, menurut Dr. Eka, bagaimana jika dalam beberapa tahun ke depan nelayan-nelayan tersebut bekerja di perusahaan-perusahaan penangkapan ikan besar luar negeri, yang mampu memberi gaji cukup setara nelayan tradisional lainnya. Dengan kapal yang memadai, mereka bahkan bisa transaksi di tengah laut, tanpa harus ke Tempat Pelelangan Ikan.

Dalam hal ini, kondisi ideal yang harus menjadi pemikiran kita dari sisi ekonomi adalah SDA nelayan bisa berperan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (retribusi) Pemda. Tapi memang ada dilema, yaitu ketika nelayan meningkatkan penangkapan dengan pukat harimau, padahal itu berbahaya bagi kelangsungan siklus hidup ikan. Dari sisi politik, dukungan anggaran pemerintah terhadap sektor perikanan masih jauh di bawah sektor pertanian, karena ikan belum menjadi makanan mayoritas penduduk Indonesia. Generasi masyarakat Indonesia adalah generasi yang kurang mengkonsumsi protein nabati. Hal itu masih ditambah lagi, misalnya di Malang Selatan, cold storage untuk ikan jauhnya 15 km dari tempat nelayan. Fasilitas kurang memadai.

Pembicara ketiga Dr. Kusumajanti, M.Si menyampaikan hasil penelitian dari sisi komunikasi. Dari sisi komunikasi, kelompok nelayan merupakan sumber kekuatan nelayan tradisional. Kelompok ini dapat menentukan harga jual serta menentukan titik-titik pengambilan ikan. Dalam kelompok inilah pemerintah dan nelayan bisa bekerja sama. Misalnya, dalam penukaran alat tangkap pukat harimau dengan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan yang disediakan pemerintah. Sebab, jika memakai pukat harimau, ikan-ikan kecil hanya akan dibuang ke laut. Itu sebabnya ikan jadi habis. Jadi sampai Desember 2017, program penukaran semacam itu akan terjadi di Indonesia.

Model komunikasi kelompok yang baik menurut Dr. Kusumajanti adalah model interaksional, yaitu memanfaatkan pengalaman nelayan maupun pemerintah sendiri dan berbagi informasi. Antaranggota kelompok mesti memiliki keterbukaan, dan kelompok yang terbuka lebih mudah untuk mengerjakan sesuatu.

Semoga pemaparan hasil penelitian ini mampu memberikan tambahan pengetahuan, wawasan, dan kontribusi terhadap kemajuan ekonomi laut Indonesia.

Sumber :http://hi.fisip.unsoed.ac.id/v2/2017/10/30/memahami-daya-saing-nelayan-di-pesisir-jawa-bagian-selatan/